Jakarta, kpu-kotabatu.go.id (23 November 2021) – Anggota Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) Hasyim Asy’ari memberi tanggapan terkait enam opsi pemilu yang disampaikan Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi (MK) M Guntur Hamzah yang tengah ramai diperbincangkan masyarakat.
Hasyim menjelaskan bahwa keenam opsi model pemilu serentak merupakan amar putusan MK nomor 55/PUU-XVII/2019. Putusan MK tersebut merupakan pengujian norma UU pemilu ke MK yang dalam amar putusannya ditolak permohonannya. “Perkara tersebut itu statusnya dalam putusan 55 dinyatakan ditolak (permohonannya)” ujar Hasyim dalam acara Good Morning, Berita Satu TV, Selasa (23/11/2021).
Dalam putusan itulah, kata Hasyim, MK mengenalkan serentak nasional dan serentak lokal. Menurut Hasyim, KPU tidak memiliki kewenangan memilih opsi tersebut mengingat hal tersebut masuk ranah pembentuk UU (dalam hal ini pemerintah dan DPR). “Opsi-opsi didalam putusan MK diserahkan ke pembentuk UU, levelnya bukan KPU memilih, ini levelnya para pembentuk UU, Presiden dan DPR,” tegas Hasyim.
Hasyim menyampaikan MK memberi kata kunci keserentakan pemilu yang tidak boleh dipisah. Keserentakan yang mesti dijaga, menurut Hasyim, pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD dan Presiden karena sistem pemerintahan presidensial yang dianut Indonesia salah satu cirinya dipilih langsung oleh rakyat. Kemudian, dalam konstitusi tugas MPR melantik Presiden terpilih berdasarkan SK penetapan Penetapan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Terpilih oleh KPU. Oleh karena itu, keserentakan DPR, DPD dan Presiden sangat penting.
“Berdasarkan itulah kemudian dilantik MPR gabungan anggota DPR dan DPD, maka dengan begitu logis bahwa Pemilu untuk memilih Presiden, Wakil Presiden, DPR, DPD tidak bisa dipisah-pisah keserentakannya,” ucap Hasyim.
Opsi Empat
KPU berpandangan pada pilihan opsi keempat yaitu pemilu serentak tingkat nasional dan tingkat lokal yang dibedakan waktunya secara interval (concurrent election with regional-based concurrent elections). Opsi keempat ini pemilu keserentakan nasional dan keserentakan lokal (daerah) di mana keserentakan nasional untuk memilih Presiden, Wakil Presiden, Anggota DPR, DPD kemudian jeda waktu ditengah 5 tahunan pemilu nasional kemudian ada pemilu lokal memilih Anggota DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota, Gubernur , Bupati/Walikota.
Opsi keempat itu, kata Hasyim, juga disampaikan KPU kepada MK ketika memberi keterangan untuk perkara yang sedang berproses yakni Perkara PUU Nomor 16 tahun 2021 menguji UU 7 tahun 2017 terkait Pemilu. “Itu disampaikan pendapat KPU didalam sidang MK untuk perkara 16, perkara 16 ini akan dilanjutkan pada tanggal 24 November,” ungkap Hasyim.
Hasyim meragukan opsi keserentakan itu di tengah kesepakatan politik pemerintah dan DPR untuk tidak merevisi UU Pemilu maupun UU Pemilihan. Untuk itu, opsi-opsi ini statusnya bebas dan tidak berkaitan dengan ide amandemen konstitusi untuk memperpanjang masa presiden.
“Kalau mau mengambil katakanlah mengambil opsi 4 itu kan ranahnya revisi UU Pemilu untuk mengatur keserentakan pemilu nasional, dan kemudian revisi UU pilkada untuk mengatur keserentakan pemilu daerah, faktanya tidak ada kehendak revisi,” ucap Hasyim.
Lebih lanjut, Hasyim menyampaikan juga perkembangan terakhir rancangan tahapan pemilu yang disusun saat ini. Dia mengatakan KPU dan pemerintah serta Komisi II DPR RI berencana melakukan rapat konsultasi pada 6 Oktober 2021 tetapi ada pihak yang tidak bisa hadir sehingga KPU akan mengajukan kembali rapat konsultasi untuk membahas tahapan pemilu. “Boleh dikatakan sudah mendekati fix atau final ya yang diusulkan KPU itu hari coblosan 21 Februari 2024 untuk Pemilu,” tutup Hasyim. (humas kpu ri tenri/foto james/ed diR)