Batu, kpu-kotabatu.go.id (28 Februari 2020) – KPU Kota Batu melaksanakan kajian rutin Jum’at yang merupakan kali kedua di bulan Februari ini. Kegiatan dilaksanakan di aula kantor jl. Raya Tlekung No 212 Junrejo yang dimulai pada pukul 09.00 WIB. Kajian rutin ini dihadiri oleh seluruh komisioner beserta staf KPU Kota Batu.

Mengangkat tema “Pemilihan Kepala Desa (Pilkades Bitingan) dalam menelusuri jejak demokrasi di negeri Sariawan”. Kajian yang disampaikan oleh Kasubbag Hukum dan Pengawasan (Badrut Tamam) dan di moderatori oleh Komisioner KPU Kota Batu Divisi Perencanaan dan Data (Heru Joko Purwato). Latar belakang diangkatnya tema ini sebagai bahan kajian pada diskusi kali ini adalah bentuk perhatian sebagai penyelenggara pemilu terhadap hak konstitusional masyarakat dalam menggunakan hak pilih sebagai warga negara. Dimana dari proses pemilihan di TPS pada pemilu terdapat suara tidak sah sehingga tidak dapat dihitung menjadi bagian penentu kemenangan calon atu peserta pemilu.
“Vox Populi Vox Dei” suara rakyat adalah suara tuhan. Pernyataan ini menjadi legitimasi untuk meminimalisir jumlah surat suara yang tdak sah. Menurut data KPU Kota Batu pada Pemilu 2019 lalu suara tidak sah pada pemilihan presiden dan wakil presiden adalah sebesar 3.676, dan suara sahnya sebesar 136.758 sedangkan untuk pemilihan legislatif DPRD Kota Batunya adalah 21.006 dan suara sahnya adalah 118.349. Angka ini yang terbilang tinggi jika dilihat dari persentasenya. Perlu diketahui Pemilu 2019 adalah pemilu serentak pertama dalam sejarah demokrasi di Indonesia. Banyak hal yang harus dibenahi, sehingga kualitas demokrasi ini tetap menjadi prioritas untuk selalu ditingkatkan.
Data diatas menjadi acuan dalam kajian ini, sehingga narasumber tertarik untuk membahas bagaimana sebenarnya proses demokrasi yang dijalankan oleh para pendahu kita. Diskusi ini dari hal yang sederhana yaitu melihat sejarah pemilihan kepala desa serta kearifan lokal yang mengikutinya.
Menurut Badrut pada masa sebelum ada kertas suara, masyarakat memilih pimpinannya dengan cara “Bitingan” yaitu lidi yang menjadi alat sah sebagai pemberian hak suara.
“Bitingan adalah lidi yang menjadi alat untuk memberikan hak suara masyarakat pada pilkades pada masa dahulu. Masyarakat memilih calonnya dengan mesaukkan bitingan tersebut kedalam bumbung yang telah disediakan panitia. Yang menarik dari cara ini adalah suara yang telah memilih dapat dipastikan 100 persen sah. Tidak ada hak suara akibat teknis pemilihannya menjadi tidak sah”, jelasnya.
“Sejarawan Cirebon (Nurdin M Noor) menyebutkan pemilihan kepala desa pertama di Cirebon dilakukan sejak 1604 dengan model pemilihan One Man One Vote, sementara pemilihan Presiden Amerika Serikat pada 1774 dengan dipilih langsung oleh lembaga pemilihan umum. Pada dasarnya demokrasi itu sudah terlebih dahulu dijalankan oleh para pendahulu kita, namun sayangnya kita belum sepenuhnya menyadari dan mengetahui akan hal itu, lanjutnya.
Diskusi singkat ini sangat menghipnotis seluruh peserta kajian. Bagaimana tidak, ternyata masih banyak hal yang belum diketahui tentang sejarah awal mulanya proses demokrasi di negara tercinta ini. Sangat penting mempelajari sejarah, karena dari sanalah kita bermula. Dengan mempelajarinya, minimal menambah literasi dan membuka wacana baru untuk mengulas dan merekomendasikan masukan-masukan yang membangun untuk proses kepemiluan kita kedepan.
Diakhir diskusi, Ketua KPU Kota Batu (Mardiono) menyampaikan pemilihan melalui bitingan ini pernah diketahuinya saat masih kecil, namun tidak diberi kesempatan orang tuanya pada masa itu untuk menyaksikan langsung proses pemilihannya. Kajian ini setidaknya menjadi bahan atau dasar pengetahuan bagi peserta diskusi. Namun, jika kita kaji untuk dibandingkan dengan proses pemilihan saat ini, perlu dilihat juga azas penyelenggaraan kita. Terutama prinsip rahasianya, dilihat dari video singkat diawal diskusi, masih perlu dikaji lagi tingkat kerahasiaan pemilihannya. Akses bagi panitia terbuka sangat bebas dan melihat secara langsung pilihan masyarakat, imbuhnya.
“Kajian seperti ini sangat baik, minimal untuk menjadi media belajar bagi semua peserta. Semua harus mendapatkan giliran menjadi narasumber, kajian dibebaskan temanya, minimal forum ini dapat menempa keberanian semua terutama para staf. Sementara dibebaskan tema yang mau dibahas agar narasumbernya bisa percaya diri menyampaikan sesuatu yang dikuasainya. Jikapun kedepannya kita akan fokuskan membahas terkait kepemiluan, barulah kita berencana untuk mengulasnya dalam bentuk jurnal.” tutupnya. (Mrl)